Setiap 17 Mei, kita tak sekadar memperingati ulang tahun Perpustakaan Nasional dan Hari Buku Nasional. Kita merayakan sesuatu yang lebih dalam yaitu pertemuan antara kata dan makna, negara dan warga, serta buku dan kehidupan. Di balik peringatan ini, ada kisah kolaborasi yang hidup dan bergerak: Pelangi Eka Nusa dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Bagi Pelangi Eka Nusa, literasi bukan sekadar soal kemampuan membaca. Ia adalah proses pemberdayaan, penguatan identitas komunitas, dan pembentukan ruang-ruang aman untuk bertumbuh. Dengan pendekatan berbasis komunitas dan narasi lokal, Pelangi Eka Nusa telah membangun ekosistem literasi di berbagai wilayah, dari desa pegunungan hingga bantaran sungai kota.
Salah satu implementasi nyata dari semangat ini adalah program di Teras Ciliwung, ruang literasi dan interaksi warga di tengah hiruk-pikuk urban Jakarta. Di sini, Pelangi Eka Nusa menghidupkan buku lewat kegiatan membaca nyaring, literasi keluarga, dan kegiatan menulis yang mengangkat narasi anak-anak sekitar. Program ini tidak hanya menumbuhkan kecintaan terhadap buku, tapi juga merekatkan kembali relasi sosial yang kerap tergerus di kota besar.
Di balik geliat ini, Perpustakaan Nasional hadir bukan sebagai lembaga yang jauh dan birokratis. Mereka adalah mitra sejati. Dukungan dari tokoh-tokoh seperti E. Aminudin Aziz, Plt. Kepala Perpusnas, menjadi penguat dalam membangun jejaring dan ruang dialog lintas sektor. Aminudin membuka jalan agar gerakan literasi komunitas masuk dalam diskursus kebijakan nasional. Di saat yang sama, tokoh seperti Adin Bondar, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan, aktif menyapa komunitas dan merumuskan kebijakan berbasis pengalaman lapangan. Ia percaya, pustakawan bukan hanya penjaga buku, tapi fasilitator perubahan sosial.
Joko Santoso, Sekretaris Utama Perpusnas, juga memainkan peran penting dalam menjembatani antara sistem dan komunitas. Ia mengakui pentingnya organisasi seperti Pelangi Eka Nusa yang bisa menjangkau ruang-ruang yang sulit dijangkau negara. Mariana Ginting, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi, menjadi garda depan dalam memastikan bahwa bahan bacaan yang hadir di masyarakat adalah yang relevan, kontekstual, dan memberdayakan.
Kemitraan ini lahir dari proses panjang: diskusi daring maupun luring, kunjungan lapangan, penyusunan modul dan petunjuk teknis, hingga pengiriman buku ke berbagai wilayah. Ketika pandemi memaksa banyak inisiatif literasi berhenti, kolaborasi ini justru menemukan bentuk barunya: platform literasi daring, pelatihan virtual, dan perpustakaan digital.
Di Teras Ciliwung, kemitraan ini menemukan bentuk nyatanya. Buku-buku dari Perpusnas menjadi bahan dalam sesi membaca bersama. Panduan pelatihan dari Pelangi Eka Nusa digunakan dalam melatih relawan lokal. Anak-anak dari bantaran sungai belajar menulis cerita mereka sendiri. Orang tua pun dilibatkan dalam sesi “membaca untuk anak”, memperkuat tradisi tutur.
Inilah wajah kolaborasi yang hidup. Negara tidak hanya memberi regulasi, tetapi juga ruang partisipasi. Komunitas tidak sekadar menjalankan program, tetapi ikut merumuskan arah. Buku tidak lagi eksklusif milik kota besar, tapi hadir di pangkuan anak-anak di kampung dan lorong-lorong kota.
Pada 17 Mei ini, kita mengenang lebih dari sekadar usia sebuah institusi—kita melampaui seremoni, dan menandai tumbuhnya relasi yang dijalin dengan kesabaran dan keyakinan. Kita menyambut kehadiran buku sebagai simbol harapan yang tak pernah padam. Kita menghargai keberanian untuk bermitra, dan menghormati cerita-cerita yang ditulis oleh banyak tangan yang bekerja dalam senyap. Kita memandang ke depan, pada masa depan yang dijahit oleh kolaborasi antara negara dan komunitas, antara kebijakan dan harapan, antara sistem dan semangat. Sebab dalam perjalanan panjang literasi Indonesia, hanya dengan berjabat dalam kata dan bersua dalam makna, kita bisa memastikan: tak ada satu anak pun yang tertinggal dari imajinasi dan pengetahuan.\